Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat membawa maut.
Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi anafilaktik merupakan contoh reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi adversi obat yang ringan. Karena pada umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.
Diagnosis :
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat :
Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.
Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu. Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
2. Uji kulit
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara lain :
Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive). Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya. Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test) untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).
3. Pemeriksaan laboratorium
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif lagi).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi. Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III. Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada tabel 1.
Sumber : http://www.jacinetwork.org
0 comments:
Post a Comment